Jelajahi Rasa: 8 Kuliner Tradisional Wonosobo yang Jarang Diekspos, Bikin Rindu Kampung Halaman
ZMedia Purwodadi

Jelajahi Rasa: 8 Kuliner Tradisional Wonosobo yang Jarang Diekspos, Bikin Rindu Kampung Halaman

Daftar Isi

Kalau kamu pernah menginjakkan kaki di Wonosobo, kamu pasti tahu kalau kota kecil ini bukan hanya terkenal dengan pesonanya yang sejuk dan Dieng yang magis, tapi juga dengan kekayaan kulinernya yang bikin perut bahagia dan hati hangat. Wonosobo adalah salah satu tempat di Jawa Tengah yang diam-diam menyimpan harta karun kuliner yang belum banyak dikenal luas. Mungkin kamu sudah akrab dengan mie ongklok atau tempe kemul, tapi tahukah kamu bahwa masih banyak kuliner tradisional Wonosobo lainnya yang punya cerita dan cita rasa tak kalah menarik?

Dalam artikel ini, aku ingin mengajak kamu menelusuri jejak rasa yang jarang diekspos—kuliner-kuliner lokal Wonosobo yang mungkin belum sempat kamu cicipi tapi pantas masuk daftar buruan kulinermu berikutnya. Yuk, kita mulai perjalanan rasa ini dari dapur-dapur tradisional yang tersembunyi tapi penuh kejutan!

 


1. Sego Megono Wonosobo

Kamu mungkin pernah dengar megono sebagai lauk khas dari Pekalongan, tapi di Wonosobo, megono punya rasa dan gaya yang sedikit berbeda. Sego megono di sini biasanya disajikan bersama nasi panas, sambal terasi, dan tempe goreng kering yang kriuk. Perbedaannya terletak pada campuran kelapanya yang lebih pedas dan teksturnya yang lebih kasar. Kelapa parut yang dibumbui cabai, bawang merah, kencur, dan sedikit terasi ini kemudian dikukus bersama irisan daun pepaya atau daun turi. Rasanya? Pedas gurih yang menggoda, cocok dimakan saat pagi hari dengan teh panas di tengah kabut Wonosobo yang masih menggantung.

 

2. Lento Kacang Tholo

Lento bukan cuma sekadar gorengan biasa. Di Wonosobo, lento dibuat dari kacang tholo atau kacang tolo yang ditumbuk kasar lalu dicampur dengan singkong parut, kelapa muda, dan rempah-rempah tradisional. Adonannya kemudian digoreng hingga kecoklatan. Rasanya gurih dengan tekstur renyah di luar dan empuk di dalam. Biasanya disajikan bersama nasi jagung atau sego tiwul. Lento ini sering kamu temukan di pasar-pasar tradisional, dijual oleh ibu-ibu yang sudah puluhan tahun setia pada resep turun-temurun. Makan lento sambil duduk di teras rumah tua dengan pemandangan pegunungan? Rasanya seperti pulang ke masa kecil.

 

3. Opak Ketan Panggang

Opak ketan panggang adalah camilan khas Wonosobo yang dibuat dari ketan putih yang ditumbuk halus, dibentuk pipih, dan kemudian dipanggang di atas bara api dari sabut kelapa. Aromanya harum, rasanya legit, dan teksturnya kenyal dengan bagian luar yang agak garing. Biasanya opak ini disajikan saat hajatan atau acara syukuran, sebagai simbol berkah dan rejeki. Saat musim hujan, opak ini sering dijadikan teman minum kopi hitam atau teh gula batu oleh masyarakat desa. Dan tahu nggak? Proses pembuatannya masih dilakukan secara tradisional lho, tanpa mesin, tanpa pengawet. Jadi benar-benar rasa asli dari dapur nenek moyang.

 

4. Tiwul Kukus

Tiwul biasanya identik dengan makanan pengganti nasi di daerah Jawa, tapi di Wonosobo, tiwul naik kelas menjadi camilan manis yang menggoda. Tiwul kukus dibuat dari gaplek (singkong kering) yang dihaluskan lalu dikukus dengan tambahan gula kelapa. Rasanya manis, lembut, dan sedikit smoky. Yang bikin unik, tiwul kukus ini sering disajikan dengan parutan kelapa muda yang gurih, menciptakan perpaduan rasa yang bikin susah berhenti ngunyah. Ini salah satu kuliner nostalgia yang bisa kamu temukan di warung-warung pinggir jalan menuju kawasan pegunungan Dieng.

 

5. Jenang Sumsum Hitam

Berbeda dari jenang sumsum biasa yang berwarna putih, versi Wonosobo punya warna gelap karena menggunakan campuran tepung ketan hitam. Teksturnya lembut dan legit, disajikan dengan kuah santan dan gula aren cair yang manis. Setiap suapan jenang ini seperti membawa kamu ke suasana desa yang damai, di mana pagi hari diisi dengan aroma dapur dan suara ayam berkokok. Jenang ini biasanya dijajakan oleh pedagang keliling pagi hari atau saat ada pasar tiban. Rasanya yang otentik membuatnya selalu diburu oleh para perantau yang sedang mudik.

 

6. Tempe Gembus Bakar

Buat kamu pecinta tempe, jangan lewatkan versi unik dari Wonosobo ini. Tempe gembus bakar dibuat dari ampas tahu yang difermentasi lalu dibentuk pipih dan dibakar langsung di atas arang. Rasanya smoky, teksturnya lembut, dan aroma kedelainya masih terasa kuat. Biasanya, tempe ini dilumuri kecap manis dan sambal bawang sebelum dibakar, menciptakan rasa yang manis, pedas, dan gurih. Tempe gembus ini sering dijadikan camilan malam atau teman nasi hangat dengan lalapan sederhana. Kamu bisa menemukannya di angkringan atau warung-warung kecil di pinggiran kota.

 

7. Kue Combro Isi Oncom Pedas

Combro ala Wonosobo punya keistimewaan tersendiri. Selain ukurannya yang lebih besar, isian oncomnya pun lebih ‘nendang’—lebih pedas dan penuh bumbu. Kulit combro ini dibuat dari singkong parut yang dibentuk bulat dan diisi dengan tumisan oncom yang kaya akan rempah, lalu digoreng hingga renyah. Setiap gigitan memberikan rasa hangat, pedas, dan gurih yang memanjakan lidah. Combro ini biasanya dijual di pasar pagi atau oleh pedagang gorengan keliling, dan jadi favorit banyak orang untuk teman sarapan atau camilan sore.

 

8. Kacang Bawang Panggang ala Desa Kalikajar

Kalau biasanya kamu mengenal kacang bawang sebagai camilan goreng, di Wonosobo, tepatnya di daerah Kalikajar, kacang bawang justru dipanggang. Proses ini membuat kacangnya lebih ringan, tidak terlalu berminyak, dan punya aroma khas yang gurih. Bumbunya pun sederhana tapi meresap—campuran bawang putih, garam, dan sedikit daun jeruk. Kacang ini jadi favorit oleh-oleh karena awet dan praktis. Meskipun hanya camilan, tapi ada rasa rumahan yang kuat di balik setiap gigitan. Kamu bisa menemukan kacang ini di toko oleh-oleh lokal atau langsung dari pembuatnya di desa.

 

 

Wonosobo mungkin selama ini dikenal karena keindahan alamnya, tapi kuliner tradisionalnya diam-diam jadi alasan kenapa banyak orang ingin kembali. Di balik setiap makanan sederhana, ada cerita, budaya, dan cinta dari orang-orang yang setia merawat rasa. Kuliner-kuliner ini mungkin tidak sepopuler makanan kekinian, tapi justru di sanalah letak keistimewaannya—otentik, jujur, dan penuh kehangatan.

Kalau kamu punya rencana ke Wonosobo, sempatkanlah untuk menjelajahi kuliner-kuliner tradisional ini. Jangan hanya berhenti di mie ongklok atau carica saja. Bukalah ruang untuk mencicipi rasa yang selama ini mungkin tersembunyi. Karena sejatinya, kuliner adalah jembatan untuk mengenal jiwa sebuah daerah. Dan Wonosobo, melalui makanannya, akan menyambutmu seperti keluarga yang lama tak pulang.

Selamat menjelajahi rasa, dan semoga perjalanan kulinermu di Wonosobo tak hanya mengenyangkan perut, tapi juga menghangatkan hatimu.

 

Posting Komentar